Suasana Rapat Paripurna ke-13 DPR RI Masa Persidangan III Tahun Sidang 2021-2022 di Kompleks Parlemen, Jakarta, Selasa (11/1/2022).
JAKARTA - SIBERMALUT.COM -Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) sepakat mengesahkan Undang-Undang Ibu Kota Negara
(IKN) dalam Rapat Paripurna pada Selasa (18/1). Pembahasan RUU IKN yang
berlangsung singkat ini berpotensi bermasalah secara hukum formil. Nasibnya
bisa mengikuti jejak UU Cipta Kerja yang dinyatakan inskontitusional bersyarat
dalam putusan Mahkamah Konstitusi. Panitia Khusus DPR membahas UU IKN yang
terdiri dari 11 Bab dan 44 Pasal sejak 7 Desember 2021 hingga Selasa (18/1)
dini hari. Peneliti Forum Masyarakat Peduli Parlemen (Formappi), Lucius Karus,
mencatat pembahasan RUU IKN hanya berlangsung dua minggu bila dikurangi masa
reses DPR. "Pembahasan RUU IKN ini hanya seminggu sebelum DPR reses dan
seminggu setelah reses," kata Lucius dalam diskusi virtual, Selasa (18/1).
Pembahasan RUU IKN dimulai dari Surat Presiden yang baru diterima DPR pada 3
Desember 2021. Kemudian DPR membentuk Panitia Khusus RUU IKN pada 7 Desember,
kemudian dibahas hingga DPR memasuki masa reses pada 16 Desember 2021.
Pembahasan dilanjutkan setelah masa reses berakhir dan dimulainya masa sidang
pada 11 Januari 2022. Hingga diselesaikan pada rapat maraton 16 jam pada 18
Januari. "Ini mungkin rekor tercepat DPR dalam membahas sebuah RUU, kalau
Omnibus Law UU Cipta Kerja itu kan hanya sebulan," kata Lucius. Dengan
pembahasan yang singkat, Lucius menilai otomatis partisipasi publik menjadi
terbatas. Padahal putusan MK yang memutuskan UU Cipta Kerja sebagai
inskonstitusional bersyarat karena dianggap prosedur pembahasannya tak
melibatkan partisipasi publik. "Prosedur yang justru ditekankan oleh MK
itu terkait dengan partisipasi publik di dalam proses pembahasan RUU antara DPR
dan pemerintah," kata dia.
Lucius memandang seharusnya putusan mengenai UU Cipta Kerja ini menjadi
pelajaran buat pemerintah dan DPR. "Setelah MK untuk pertama kalinya
berani melakukan uji formil terhadap proses pembahasan RUU di DPR, jangan
menganggap remeh prosedur pembahasan RUU." Dia menilai, nasib UU IKN
berpotensi mengikuti jejak UU Cipta Kerja bila ada yang mengajukan uji materi
di MK. Ada potensi MK kembali memutuskan UU tersebut sebagai inkonstitusional
bersyarat. "Saya rasa itu bisa jadi mimpi buruk ketika nanti ada kelompok
masyarakat yang mengajukan judicial review ke MK dari sisi formil prosedurnya,"
kata Lucius. Ekonom Faisal Basri menyatakan rencana mengajukan uji materi UU
IKN, selain membuat petisi. Namun dia tak memaparkan secara detail poin apa
yang akan disampaikan dalam gugatan tersebut. "Saya tidak anti pemindahan
ibu kota tapi perlu ada persiapan rencana induk yang bagus melibatkan
masyarakat," kata Faisal, hari ini.
DPR Bantah Pembahasan RUU IKN Tergesa-gesa Adapun Wakil Ketua DPR RI Sufmi Dasco Ahmad membantah pembahasan RUU IKN dilakukan tergesa-gesa. Dia menyebut ilai pembahasan RUU IKN di Pansus dilakukan secara efisien sehingga berjalan dengan cepat dan lancar. "Sebenarnya pembahasan RUU IKN tidak terlalu tergesa-gesa, namun dilakukan dengan efisien, nanti RUU TPKS seperti itu. (Pansus RUU) selama masa reses tetap bekerja," kata Dasco di Kompleks Parlemen. Advertisement Dia menilai, pembahasan RUU IKN dilakukan sangat dinamis dan terkadang dibahas bolak balik dari satu pasal ke pasal lain karena masih ada perdebatan untuk dicari titik temu.
Ketua Pansus RUU IKN Ahmad Doli Kurnia mengatakan dalam pembahasan di Pansus
hanya fraksi Partai Keadilan Sejahtera (PKS) yang menolak untuk membawa ke Rapat
Paripurna. "Fraksi PKS menolak hasil RUU IKN dan menyerahkan pengambilan
keputusan tingkat II pada rapat paripunra DPR RI," kata Doli di Rapat
Paripurna, Selasa (18/1)
Fraksi PKS beranggapan rancangan payung hukum pemindahan ibu kota tersebut
masih memiliki sejumlah kelemahan. Anggota Pansus RUU IKN dari PKS, Suryadi
Jaya Purnama, mengatakan masalah dimulai dari pembahasan singkat hingga faktor
substansi. Ia menyoroti adanya kemungkinan tidak ada perwakilan masyarakat di
ibu kota baru. “Ini tak hanya bertentangan dengan UUD 1945 tapi juga berpotensi
melahirkan otoritarianisme,” kata Suryadi. Hal lainnya, belum ada penjelasan
teknis yang mengatur nasib masyarakat adat hingga lingkungan hidup di ibu kota
baru.**