Banyak Kebijakan Negara Yang Tidak Berdampak Di Tengah Pandemi, Apakah Negara Kehilangan Ide?
Font Terkecil
Font Terbesar
SIBERMALUT, Tobelo - Mengawali catatan ini, penulis ingin mempertegas bahwa sesungguhnya corona benar ada dan perlu di waspadai. Akan tetapi, proses yang sudah berjalan kurang lebih 2 (dua) tahun ini, sesungguhnya meresahkan penulis sendiri atas berbagai kebijakan yang di keluarkan dan di buat sebagai sistem, dalam penangan penyebaran covid-19.
Dalam konteks keresahan itulah, maka penulis berinsiatif untuk menuangkannya ke dalam tulisan ini, sembari berharap ada respon dari setiap pembaca, baik itu dalam bentuk kritikan, apresiasi atau apapun itu. Sehingga, ada semacam kejelasan yang lahir untuk menjawab setiap keresahan dari penulis, atau pun dari orang lain yang juga merasakan hal semirip.
Pendahuluan
Sejak akhir tahun 2019, berita tentang; virus corona hadir di Wuhan, Cina, sesungguhnya sudah meresahkan masyarakat di seluruh dunia pada umumnya dan Indonesia khususnya, untuk mewaspadai penyakit ini agar tidak menyebar di negara-negara lain. Mengapa tidak? Virus Corona atau Covid-19 di Cina sebagai mula-mula lahirnya penyakit tersebut, di kabarkan sangat berbahaya dan juga mengancam nyawa.
Pada pemberitaan tentang bahayanya covid-19 itu, maka ketakutan mulai bermunculan, dengan membayangkan seandainya virus itu masuk di Indonesia, apa yang terjadi? Sementara berita terus terdengar melalui media Televisi (TV), Facebook, Twiter, Whatsapp dan lainnya, bahwa virus corona sangat berbahaya. Sehingga ketakutan terus menghantui dan membayang-bayangi masyarakat di Indonesia.
Ketakutan itu akhirnya menjadi kenyataan. Pada; 2 Maret 2020, Indonesia dengan media resminya mengumumkan, bahwa virus yang di takuti itu telah masuk di tanah air ini, melalui dua orang perempuan yang terjangkit setelah bertatap muka dengan orang asing. Ketakutan masyarakat Indonesia pun terhadap bahaya virus ini lebih memuncak.
Hingga 14 November 2020, lebih dari 53.281.350 orang kasus telah dilaporkan lebih dari 219 negara dan wilayah seluruh dunia, mengakibatkan lebih dari 1.301.021 orang meninggal dunia dan lebih dari 34.394.214 orang sembuh. Pada tanggal yang sama, Indonesia melalui data Satgas, tercatat; 463.007 kasus yang terjangkit, diantaranya; 15.148 orang meninggal dunia dan 388.094 orang dinyatakan sembuh.
Perkembangan peningkatan kasus covid-19 semakin meningkat dan rasanya tak terkendalikan. Sehingga berbagai kebijakan di keluarkan oleh pihak pemerintah, untuk penanganan covid-19, melalui kajian-kajian tim medis. Diantaranya; menggunakan masker, mencuci tangan, menjaga jarak dan lainnya. Meski demikian, kasus yang terjangkit tidak lagi terbendung, sehingga dengan berbagai pertimbangan, pemerintah menaikan statusnya menjadi "krisis kesehatan/darurat".
Solusi Negara Dalam Penangan Covid-19
Penerapan PSBB
Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB) akhirnya di keluarkan, sebagai kebijakan tegas pertama yang di ambil oleh pemerintah. PSBB yang di terapkan adalah sebagai upayah penanganan penyebaran covid-19, setelah negara telah memberikan status 'darurat', akibat dari virus ini. Propinsi Jakarta sebagai ibu kota negara, yang pertama kali menerapkan PSSB, pada; 6 April 2020 dan kemudian di susul kota-kota lainnya.
Dari penerapan PSBB, semua aktifitas di rumahkan. Mulai dari pekerjaan kantor, sekolah, beribadah dan aktifitas yang sejenisnya, semua di rumahkan. Bahkan salah satu agenda negara yang telah terjadwalkan pun di batalkan, yakni; pemilihan kepala daerah (pilkada).
Selain itu, perayaan-perayaan besar umat beragama pun di larang untuk di rayakan (natal, idul fitri dan perayaan lainnya). Sehingga ada sejumlah kegalauan rakyat yang di curhatkan melalui media sosial. Di samping itu pula, penegasan pada protokol kesehatan (prokes) semakin di tegaskan, bahkan akan ada sanksi bagi yang tidak mematuhinya.
Dampak dari penerapan PSBB pun mulai di pikirkan melalui ruang-ruang diskursus, dari berbagai organisasi kemahasiswaan dan juga LSM, serta dari lembaga pemerintahan. Banyak hasil diskursus sebagai dampak penerapan PSBB yang di lahirkan, baik dari segi ekonomi, politik, pendidikan, bahkan agama.
Untuk mengatasi beberapa masalah tersebut, pemerintah pun lebih bergiat mencarikan solusi. Sehingga lahirnya Bantuan Lansung Tunai (BLT), Bantuan Sosial (Bansos), Bantuan UMKM, BPUM, bahkan pengisian Voucher bagi siswa, mahasiswa, guru dan dosen.
Sepanjang penerapan PSBB, pandemi covid-19 yang menjadi target belum juga teratasi secara baik. Sementara ada beberapa masalah muncul, semisalnya; sebagian pelaku usaha menghentikan total operasional mereka.
Angka pemutusan hubungan kerja (PHK) juga meningkat. Dalam konteks yang demikian, pemerintah dengan mempertimbangkan berbagai krisis yang terjadi, harus mengeluarkan suatu kebijakan baru, yakni; THE NEW NORMAL.
NEW NORMAL Sebagai Solusi Krisis Ekonomi di Tengah Pandemi Yang Belum Berakhir?
Pada awal Juni 2020, kebijakan pemerintah berubah, dari PSBB ke New Normal. New Normal di berlakukan, karna berbagai krisis yang terjadi pada saat penerapan PSBB, khususnya krisis ekonomi. Dalam dasar pikir yang seperti itu, pemerintah kemudian memaksakan penerapan New Normal, padahal pandemi belum teratasi dengan baik.
New Normal adalah sebuah kebijakan pemerintah, yang meminta kepada rakyat untuk dapat beradabtasi dengan suasana pandemi Covid-19. Beraktifitas seperti semula, namun tetap taat pada protokol kesehatan. Tempat-tempat wisata, warkop, cafe, dan tempat keramaian lainnya kembali di buka.
Hal ini menunjukan sebuah kemirisan yang terlihat pada negara kita. Pasalnya, PSBB sebelumnya di terapkan adalah untuk penanganan penyebaran covid-19 dan negara telah mengambil resiko besar dalam membatasi berbagai aktifitas.
Hal tersebut, mestinya sudah di pikirkan dampak-dampak dari setiap kebijakan, termaksud dampak terhadap ekonomi. Namun sayangnya, penerapan PSBB bukan solusi yang matang. Sehingga pada perjalanannya, negara justru mundur dan terkesan tidak mampu mempertanggung jawabkan kebijakan yang di keluarkan.
Begitu pun dengan penerapan "The New Normal", justru tidak ada dampak baik dalam mengatasi pandemi covid-19. Dalam soal ini, negara terlihat bingun dalam menangani pandemi dan dampaknya. Padahal, mestinya negara sudah harus mengambil resiko besar, dalam menangani pandemi agar berakhir dan juga mengatasi segala bentuk dampak yang akan terjadi.
Akibat dari ketidak matangan solusi yang di suguhkan oleh negara, pandemi melonjak tinggi dan semakin mengganas dengan berbagai varian. Data terbaru yang di suguhkan pada; 30 Juli 2021, angka kasus yang terjangkit tembus; 3.372.374 orang. Diantaranya, 2.730.720 orang di nyatakan sembuh dan yang meninggal sebanyak; 92.311 orang.
Dari mengganasnya pandemi covid-19, kebijakan baru kembali di terapkan, yakni; Pemberlakuan Pembatasan Kegiatan Masyarakat, atau yang biasa kita sebut dengan PPKM.
Apa Bedahnya PSBB dan PPKM?
Indonesia dalam menghadapi pandemi Covid-19, tercatat sebagai negara yang terbanyak mengeluarkan kebijakan, dengan nama-nama kebijakan pun bervariasi. Di mulai dari PSBB, The New Normal, PPKM, PPKM Darurat, PPKM Level 3 dan sekarang sudah memasuki level 4.
Padahal dalam metode penerapan antara; PSBB dan PPKM hingga level 4 itu, justru sama dan hanya sedikit hal yang membedahkan saja. Ataukah dari istilah yang berbeda mungkin akan berpengaruh pada penanganan covid-19. Atau pun memang karna ada alasan lain, yang di pikirkan oleh negara, entahlah!
Dalam penerapan PPKM hinga pada level 4 ini, justru ada berbagai kota besar yang kaum mudanya sudah menyerukan untuk menolak penerapan sistem ini. Pasalnya, dalam ketegasan menjalankan masa PPKM, pemerintah sangat terlihat lebih agresif dari sebelumnya
Hal itu dapat di lihat dari cara menerapkan sistem PPKM. Masyarakat di pukuli, barang jualan para pelaku UMKM di hamburkan dan berbagai tindakan-tindakan yang tidak beradab dilakukan kepada masyarakat. Mungkin ini yang membedahkan antara; PSBB dan PPKM.
Di samping itu, pandemi covid-19 belum juga berakhir, justru semakin meningkat. Negara seolah tidak memiliki target, atas setiap kebijakan yang dilakukan, untuk menangani Covid-19 ini. Mungkin saja akan ada istilah baru yang di keluarkan oleh negara, sebagai kebijakan baru dalam penanganan pandemi Covid-19.
Jika sikap negara terus seperti ini, kapan Indonesia bebas dari pandemi covid-19?
Jika kita mengikuti dengan cermat dari setiap kebijakan yang di keluarkan oleh negara dalam penanganan pandemi Covid-19 ini, tidak ada dampak baik yang di rasakan oleh rakyat. Justru penderitaan yang di rasakan akibat dari kebijakan-kebijakan yang di keluarkan.
Menggunakan masker, mencuci tangan, menjaga jarak dan lain sebagainya, sangat-sangat tidak efektif hasilnya. Apalagi program terbaru, yakni; Vaksinasi. Orang yang telah melakukan vaksin pun, akhirnya terpapar. Jika demikian, mengapa kita harus ikut di vaksin?
Mirisnya, vaksinasi di rencanakan akan menjadi salah satu syarat administrasi transportasi. Misris bukan? Sesuatu yang tidak menjamin kita bebas covid, tapi mau di jadikan syarat administrasi transportasi. Semakin aneh-aneh saja konsep negara dalam penanganan pandemi ini.
Karna itu, negara mestinya lebih dewasa lagi dalam mengambil keputusan. Sehingga setiap apa yang di keluarkan sebagai aturan dalam menangani pandemi covid-19, benar-benar berdampak pada pengurangan angka kasus di negara ini.
Di lain soal, negara juga perlu memikirkan langkah terbaik untuk mengatasi dampak-dampak buruk yang akan di hadapi, saat rakyat mengikuti dan menaati setiap aturan yang di jalankan, termaksud krisis ekonomi. Sumber: (Sefnat Tagaku)