BREAKING NEWS


ASN/PPPK Tidak Boleh Menjabat sebagai Anggota BPD

Oleh: Safrin Salim, S.H. M.H.
Wakil Direktur LBH Sangaji Maluku Utara

Amandemen Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 membawa perubahan mendasar dalam sistem ketatanegaraan Indonesia. Salah satu perubahan penting tersebut adalah penegasan prinsip pemisahan kekuasaan (separation of powers) dan checks and balances antara cabang kekuasaan legislatif, eksekutif, dan yudikatif. Ketiga cabang kekuasaan ini ditempatkan dalam posisi yang sederajat, saling mengawasi, dan saling membatasi demi mencegah terjadinya penyalahgunaan kekuasaan.

Prinsip ini tidak hanya berlaku di tingkat pusat, tetapi juga harus diterapkan secara konsisten hingga ke tingkat pemerintahan paling bawah, yakni desa. Dalam konteks inilah, perdebatan mengenai boleh atau tidaknya Aparatur Sipil Negara (ASN) maupun Pegawai Pemerintah dengan Perjanjian Kerja (PPPK) menjabat sebagai anggota BPD Badan Permusyawaratan Desa (BPD) menjadi relevan dan penting untuk ditegaskan

Secara konseptual dan normatif, ASN/PPPK merupakan bagian dari struktur kekuasaan eksekutif. Mereka menjalankan fungsi pemerintahan, administrasi publik, dan pelayanan kepada masyarakat berdasarkan kebijakan yang ditetapkan oleh pemerintah. Kedudukan ini sejalan dengan teori pemisahan kekuasaan yang dikemukakan oleh filsuf politik Prancis, Montesquieu, dalam karyanya The Spirit of the Laws pada abad ke-18.

Montesquieu menegaskan bahwa kekuasaan negara harus dipisahkan ke dalam tiga cabang yang independen—legislatif, eksekutif, dan yudikatif—agar tidak terjadi pemusatan kekuasaan yang berpotensi melahirkan tirani. Cabang eksekutif bertugas melaksanakan undang-undang dan kebijakan, mengelola administrasi pemerintahan, menyusun dan melaksanakan anggaran, menjaga keamanan, serta memastikan pelayanan publik berjalan dengan baik.

ASN/PPPK, sebagai pelaksana kebijakan pemerintah, tidak dapat dilepaskan dari fungsi-fungsi eksekutif tersebut. Oleh karena itu, secara teoritik maupun praktik ketatanegaraan, ASN/PPPK tidak dapat diposisikan di luar cabang kekuasaan eksekutif.

Di sisi lain, Badan Permusyawaratan Desa (BPD) merupakan lembaga perwujudan demokrasi di tingkat desa yang kerap disebut sebagai “parlemen desa”. Anggota BPD merupakan wakil penduduk desa yang dipilih secara demokratis berdasarkan keterwakilan wilayah.

BPD memiliki tiga fungsi utama, yakni fungsi legislasi, fungsi perwakilan, dan fungsi pengawasan. BPD bersama kepala desa membahas dan menyepakati peraturan desa (Perdes), menampung dan menyalurkan aspirasi masyarakat, serta mengawasi kinerja kepala desa dan jalannya pemerintahan desa. Dengan fungsi-fungsi tersebut, BPD secara jelas berada dalam ranah kekuasaan legislatif skala desa.

Dalam sistem demokrasi, lembaga legislatif berperan sebagai pengimbang kekuasaan eksekutif. Oleh sebab itu, independensi BPD menjadi syarat mutlak agar fungsi pengawasan dan representasi rakyat desa dapat berjalan secara efektif.

Memang, Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2023 tentang Aparatur Sipil Negara dan Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2024 tentang Desa tidak secara eksplisit menyebutkan larangan ASN/PPPK merangkap jabatan sebagai anggota BPD. Namun, larangan tersebut dapat ditarik dari prinsip umum hukum tata negara dan peraturan perundang-undangan lainnya.

Larangan rangkap jabatan antara eksekutif dan legislatif di Indonesia pada prinsipnya diatur dalam Undang-Undang Nomor 39 Tahun 2008 tentang Kementerian Negara, yang kemudian diperkuat melalui Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 128/PUU-XXIII/2025. Putusan tersebut menegaskan larangan rangkap jabatan demi mencegah konflik kepentingan dan menjaga independensi pejabat publik.

Selain itu, UU Nomor 20 Tahun 2023 tentang ASN secara tegas melarang ASN/PPPK menerima penghasilan dari dua jabatan pemerintahan sekaligus. ASN/PPPK hanya berhak menerima satu sumber penghasilan yang berasal dari APBN atau APBD. Ketentuan ini menunjukkan bahwa negara secara prinsip menolak praktik rangkap jabatan di lingkungan aparatur pemerintahan.

Lebih jauh, ASN/PPPK juga terikat oleh asas netralitas, yang menuntut mereka bebas dari kepentingan politik praktis dan intervensi kekuasaan lainnya. Rangkap jabatan sebagai anggota BPD berpotensi menimbulkan konflik kepentingan, melemahkan fungsi pengawasan BPD, sekaligus mencederai prinsip netralitas ASN/PPPK itu sendiri.

Demokrasi desa hanya dapat tumbuh sehat apabila terdapat pemisahan yang jelas antara fungsi eksekutif dan legislatif. Mengizinkan ASN/PPPK—yang merupakan bagian dari kekuasaan eksekutif—menjabat sebagai anggota BPD sama saja dengan meruntuhkan prinsip checks and balances di tingkat desa.

Oleh karena itu, berdasarkan dengan prinsip,asas dan norma dasar maka ASN/PPPK tidak boleh menjabat sebagai anggota BPD (parlemen tingkat desa)  penegasan ini penting agar tata kelolah pemerintah pada tingkat desa tetap demokratis dan bebas dari konflik kepentingan, dan terselenggaranya asas umum pemerintahan yang baik. (Red) 
Posting Komentar
ADVERTISEMENT
Designed by malut
ADVERTISEMENT